Senin, 14 September 2015

Cirebon si Kota Udang

Pada tanggal 21-22 Agustus 2015 lalu, saya bersama beberapa kawan dari komunitas Backpacker Jakarta (selanjutnya akan disebut sebagai BPJ) berkesempatan untuk mengunjungi kota Cirebon di Jawa Barat. Umumnya, banyak yang mengenal kota ini sebagai kota Udang (karena memang pada lambang kotanya pun ada 2 ekor udang, hehehe ) . Tapi sekali lagi, kedatangan kami kesana bukan untuk menangkap udang, melainkan untuk menjelajah isi dari kota Cirebon, yang mana banyak peninggalan-peninggalan bersejarah yang sangat sayang jika dilewatkan.


21 Agustus 2015
Awal Keberangkatan 
Malam sekitar pukul 21.00 WIB, saya tiba di depan kampus FK UKI (Universitas Kristen Indonesia), yang menjadi "mipo" (Meeting Point) kami sebelum berangkat bersama menuju Cirebon. Sejujurnya di awal trip kali ini saya agak merasa asing, karena memang sangat sedikit orang yang saya kenal (kecuali Ferdinand dan Berlian selaku Contact Person dari trip ). Tapi itulah serunya sebuah perjalananan, yang tadinya kaku, atau tidak kenal , bisa jadi menjadi sangat akrab ketika pulang atau selama perjalanan. Hehehehe

Pukul 22.34 WIB, kami ber 18 pun berangkat menuju kota Cirebon, dimana nanti akan disambut oleh kawan kami Hamdan yang akan menjemput di Masjid Raya At-Taqwa Cirebon.

22 Agustus 2015
Tiba di Cirebon

A. Masjid Raya At-Taqwa Cirebon

Masjid Raya At-Taqwa Cirebon
Perjalanan menuju Kota Cirebon ditempuh dalam waktu yang cukup singkat, ditambah kami  sempat mampir di KM166 Tol Cipali untuk beristirahat sejenak. Sekitar Pukul 04.00 WIB, kami sudah tiba di depan Masjid Raya At-Taqwa Cirebon dan langsung disambut oleh Hamdan yang akan menjadi Tour Leader kami hari itu.

Karena waktu sudah dekat dengan sholat Subuh, maka kami pun sepakat untuk beristirahat sejenak sembari menyegarkan diri di Masjid. Barulah pada pukul 06.00 WIB kami memulai aktivitas pertama kami yakni mencari sarapan.

Fyi, Pemandangan di kawasan Masjid yang bersebelahan dengan alun-alun ini pun tidak kalah menarik untuk diabadikan. Kawan-kawan pun langsung siap dengan kamera dan gadget masing-masing ketika memasuki kawasan Masjid.

Masjid inipun punya semacam Theater sendiri. Bersama salah seorang CP, Berlian Aji (doc by Kamera Berlian Aji)
B. Nasi Jamblang
Aneka menu Nasi Jamblang
Pagi itu, ketika hari sudah mulai terang, kami sarapan pagi dengan menu Nasi Jamblang (makanan tradisional khas Cirebon) yang dibawa oleh seorang Ibu-ibu tua. Nasi Jamblang ini disajikan dengan berbagai macam pilihan menu lauk seperti sate telur puyuh, paru/ati ampela, telur dadar, perkedel kentang tepung dan lain-lainnya. Selain itu , kita makan dengan wadah daun jati. Bagaimana rasanya ? Mantaaaap !!! mesti coba sendiri deh pokoknya. Soal harga tidak usah khawatir, sangat bersahabat untuk kantong para Backpacker. Bahkan saya pribadi pun, dengan menu Nasi + 2 Sate Telur Puyuh + 1 Telur dadar + 2 Perkedel Kentang, hanya dikenakan Rp 9.500,- saja. Murah bangeet!!!! :D

C. Gedung Walikota Cirebon
Setelah kenyang makan nasi Jamblang, kami bergerak dengan berjalan kaki menyusuri jalan kota Cirebon yang saat itu masih sepi dengan kegiatan. Kami pun segera berhenti untuk melihat dan berfoto-foto ketika bertemu dengan gedung unik di sebelah kami yang mana itu adalah gedung walikota Cirebon. Awalnya, kami hanya sekedar berfoto-foto dari luar, hingga setelah kawan kami Hamdan nego dengan penjaganya, kami pun diizinkan masuk untuk berfoto-foto di bagian dalam gedung.

Kantor Walikota Cirebon

Mari berpose sejenak

D. Bubur M.Toha
Tidak jauh dari lurusan jalan di depan Gedung Walikota dan mengambil ke kanan saat bertemu pertigaan, kami singgah di warung Bubur M.Toha yang kata orang Cirebon sih paling enak disini. Rasanya ? enak dooong. Harga dibandrol Rp 6.000,- untuk semangkuk bubur ayamnya, dan Rp 3.000,- untuk permangkuk bubur ketan hitam atau kacang hijau.

Bubur M.Toha yang sudah ramai oleh pengunjung di pagi hari

E. Taman Goa Sunyaragi
Setelah selesai nyabu (nyarap bubur) di pagi hari, kami segera kembali bus untuk menuju destinasi kami selanjutnya, yakni Taman Goa Sunyaragi (Sunya = Sunyi, Ragi = Raga). Tidak sampai 15 menit, kami pun tiba di pintu masuk Goa Sunyaragi, yang mana beberapa bagian gerbangnya sedang dalam tahap renovasi.

Pintu masuk menuju Taman Goa Sunyaragi

Tertera harga tiket masuk yakni Rp 10.000/orang
Menurut info yang saya dapat dari sebuah brosur yang dibagikan saat kami tiba di Cirebon, situs ini sebenarnya merupakan kompleks bangunan - bangunan kuno bekas tamansari dan pesanggrahan, yang memang fungsi utamanya untuk berkhalwat atau untuk menyepi. Situs ini pun sudah berkali-kali mengalami pemugaran, baik pada jaman Sultan Sepuh IX, pada jaman kolonial, maupun pada jaman sekarang.


Sebuah panggung yang sepertinya berfungsi sebagai sarana hiburan di kala itu

Beberapa ornamen bangunan yang masih asli

Sepasang Candi Bentar yang menyerupai pura Hindu Klasik
Taman Goa Sunyaragi ini sangat luas, dan terdiri dari berbagai macam goa beserta fungsinya masing-masing. Saya pribadi kemarin tidak sempat mengunjungi semuanya. Saran saya, pergunakanlah guide lokal saat mengunjungi Taman Goa ini agar kalian mengerti dengan jelas sejarah yang ada, dan pastinya untuk menghindari SALAH PEGANG, SALAH SENTUH, ataupun MAIN PELUK tanpa kalian mengerti maksudnya. Duh! Karena menurut mitos kepercayaan yang ada, terutama di bagian tengah Taman Goa dimana terdapat banyak patung, ada beberapa patung yang sangat dilarang untuk disentuh, seperti Patung Perawan Sunti yang katanya jika disentuh bisa susah mendapat jodoh. Memang hanya sekedar kepercayaan, tapi bukankah lebih baik dihindari jika kita tahu kan? Wallahu'alam.

Berikut saya sajikan beberapa lokasi yang saya temui di Taman Goa Sunyaragi (meskipun tidak semua) beserta ketengannya pada foto :

Pemandangan dari atas Goa Padang Ati

Goa Padang Ati, yang dijadikan tempat menyepi bagi keluarga keraton yang mempunyai cita-cita namun belum tercapai

Pemandangan lain dari Puncak Goa Padang Ati

Goa Pawon yang dipakai sebagai tempat menyimpan persediaan konsumsi keluarga Keraton
Pemandangan dari atas Goa Arga Jumut, tampak diseberangnya sepasang Candi Bentar (seperti pura dalam gaya Hindu Klasik) dan panggung yang sering dijadikan saran hiburan

Altar Sholat yang terdapat di dalam Goa Padang Ati

Bale Kambang yang dipakai sebagai gazebo untuk tempat beristirahat keluarga raja

F. Keraton Kasepuhan 
Setelah puas berpanas-panas ria mengelilingi Taman Goa Sunyaragi, kami pun bergegas untuk ke destinasi selanjutnya, yakni Keraton Kasepuhan. Dimana disana juga terdapat banyak barang-barang bersejarah peninggalan dari keluarga keraton.

Pintu masuk Keraton Kasepuhan
Kalau tidak salah, dikenakan biaya sebesar Rp 15.000/orang saat kami masuk, belum termasuk dengan biaya guide lokal.

Siang itu kami ditemani oleh seorang guide bernama Kang Boy yang memakai baju adat khas Cirebon, lengkap dengan blangkon dan keris nyalip di pinggangnya. Beliau pun langsung menjelaskan sejarah tentang Keraton Kasepuhan ini. Tidak lupa kami minta difotokan di bagian depan Keraton dimana terdapat gapura sebagai kenang-kenangan.

Berfoto bersama sebelum menjelajah Keraton
Singsana tempat raja duduk sembari melihat latihan perang
Memasuki area Keraton, kami langsung menemui sebuah pendopo atau sejenis gazebo yang menurut penjelasan dari guide adalah pendopo yang sering digunakan oleh Sultan/Raja Keraton untuk menonton latihan perang yang berada di tanah kosong dekat dengan gapura kami masuk tadi. Disini pun terdapat plang "Siti Inggil" yang berarti adalah tanah tinggi.

Lanjut berjalan ke bagian lain dari pendopo, terdapat pendopo lain yang merupakan tempat untuk para ksatria duduk beristirahat. Nah, tidak jauh dari pendopo-pendopo ini ada hal lain yang menarik perhatian kami saat itu yakni "Batu Adam & Hawa". Menurut penuturan guide kami tentang batu ini adalah bahwa manusia yang hidup di dunia diciptakan berpasangan yakni Laki-laki dan perempuan. Selain dari itu ? Silahkan ditafsirkan sendiri.

Batu Adam & Hawa
Selesai dengan bagian depan, kami dibawa ke bagian tengah di Keraton. Dan langsung mengambil ke bagian kiri dimana didalamnya terdapat sebuah kereta kencana yang pernah digunakan oleh Pangeran Cakrabuana. Konon kereta ini ditarik oleh 4 ekor lembu (sapi). Ornamennya sangat unik, karena terdiri dari berbagai macam bentuk hewan yakni Gajah, Ular, Rajawali yang merupakan bentuk akulturasi dari berbagai macam budaya. Kayu yang dipakai untuk membuatnya pun diyakini sudah berumur ribuan tahun. Dan rahasia keawetannya adalah karena diberi menyan. Ternyata, Menyan adalah "zat" ampuh untuk menghindarkan kayu dari serangan rayap.

Di bagian belakang dari kereta Kencana, selain berbagai macam tombak yang digunakan para ksatria jaman dulu, terdapat pula lukisan unik 3D dari Prabu Siliwangi, yang mana beliau adalah merupakan kakek dari Sunan Gunung Jati atau yang biasa dikenal sebagai Syech Syarief Hidayatullah atau Fatahillah atau Falatehan.

Kenapa unik? karena jika dilihat dari depan, tampak seperti seorang yang bertubuh gemuk berisi dengan tatapan yang sedang marah/garang. Namun jika dilihat dari sisi sebelahnya (misal kiri), tampak seperti seorang yang tinggi langsing dengan muka tersenyum. Selain itu, jika memandang arah bola matanya, seakan-akan tatapannya tidak berhenti menatap kita kemana pun kita beranjak.

Saya bersama lukisan Prabu Siliwangi
Di sebelahnya, terdapat pula tandu dari Cina yang biasa dipergunakan oleh Permaisuri.

Tandu dari Cina

Keraton tempat tinggal Sultan beserta keluarganya
Selanjutnya, kami beranjak ke gedung yang berada di ujung dari Keraton ini, yakni Keraton yang dipergunakan sebagai tempat tinggal oleh keluarga kerajaan. Sayang sekali, demi menjaga kelestarian dari tempat tersebut, kami hanya bisa melihatnya dari pintu yang ditutup kaca. Di bagian gedung ini pun bisa sama-sama kita saksikan silsilah dari Syech Syarief Hidayatullah dari Bapak maupun Ibunya. Yang mana jika dilihat dari garis keturuan Bapak, beliau (Syech Syarief Hidayatullah) masih merupakan turunan langsung dari Baginda Nabi Muhammad SAW.


Tempat tinggal raja beserta keluarganya
Silsilah Sunan Gunung Jati (turun dari Ayah)
Silsilah Sunan Gunung Jati (turun dari Ibu)
Di bagian terakhir dari Keraton, terdapat Museum Benda Kuno yang terdiri dari berbagai macam perabotan yang jaman dulu, mulai dari Alat-alat musik tradisional, aneka kerajinan dari Cina, Gelas-gelas yang dipakai pada jaman kolonial Belanda (VOC), pernak pernik perhiasan pengantin dari kuningan (tahun 1526 M ) hingga adanya batok kelapa yang konon hanya tumbuh per 25 tahun sekali.

Aneka Gelas VOC

Perhiasan Pengantin dari Kuningan (1526 M)

Gamelan Sekaten dari Demak

Batok Kelapa yang tumbuh 25 tahun sekali

G. Tahu Gejrot asli Cirebon
Tidak jauh dari pintu masuk Keraton Kasepuhan, terdapat seorang Bapak Tua yang menjajakkan satu lagi jajanan khas Cirebon, yakni Tahu Gejrot. Tahu ini disajikan dengan mangkuk coklat yang terbuat dari tanah liat. Soal harga? kami pun mendapat harga yang cukup murah yakni Rp 5.000,-/ mangkuk berkat lobi dari sang tour guide kami Hamdan (melobi dalam bahasa Sunda pastinya).. ehehhee

Santai sembari menikmat Tahu Gejrot (doc by Kamera mbak Endang/Ferdinand)

H. Keraton Kacirebonan
Destinasi kami selanjutnya adalah Keraton Kacirebonan, sebuah bangunan lain dari Keraton yang dulunya banyak ditinggali oleh keluarga kerajaan. Disini kami dikenakan biaya sekitar Rp 5.000,-/orang dan dipandu oleh dua orang Ibu-ibu yang mengenakan pakaian adat. Menurut buku yang ditulis oleh Wahyoe Koesumah,S.Sn, Keraton ini didirikan pada tahun 1800 M, Sultannya yang sekarang adalah Abdul Ghani,S.E. Potret beliau bersama istri serta keluarganya pun bisa kalian temui di dalam Keraton ini.

Secara ukuran, Keraton ini lebih kecil dibanding Keraton Kasepuhan yang kami kunjungi sebelumnya, ruangannya pun tidak banyak, namun tetap menyimpan berbagai peninggalan seperti keris, wayang, gamelan, alat-alat perang dan dll didalamnya.

Dibagian akhir sebelum keluar, para pemandu menawarkan aneka macam kain batik, gelang, cincin maupun aksesoris lainnya manatahu kita tertarik untuk membeli.

Keraton Kacirebonan

Backpacker Jakarta di depan Keraton Kacirebonan
Aneka koleksi kursi antik yang terdapat di salah satu ruangan
Ruang tengah dimana terdapat alat-alat perang, lukisan dan gamelan














I. Empal Gentong Jl.Sutomo
Berhubung hari sudah menjalang Zhuhur dan waktunya makan siang, kami pun diantar oleh Hamdan menuju warung Empal Gentong yang berada di Jl.Sutomo. Saya  saat itu memesan seporsi Empal Gentong Daging, sepiring lontong dan sebuah teh di botol (ga enak kalo sebut merk). Seporsi ini dikenakan Rp 25.000,-
 
Seporsi Empal Gentong Daging + Lontong

J.Keraton Kanoman
Keraton Kanoman yang lokasinya dekat dengan pasar ini merupakan tujuan terakhir kami di Cirebon sebelum kembali pulang ke Jakarta. Memasuki kawasan Keraton, bisa kita lihat banyaknya bangunan-bangunan tua yang seperti sudah tidak terawat. Hingga akhirnya memasuki pekarangan keraton dimana terlihat banyak mobil parkir.

Dibanding dengan 2 keraton yang kami kunjungi sebelumnya, bangunan Keraton ini bisa dibilang yang paling kecil, hanya saja halamannya cukup luas. Disini pun kami disambut oleh seorang Bapak yang berpakaian sangat santai (terlalu santai jika dibanding 2 keraton sebelumnya..haha),namun penjelasan dan pemikirannya sangatlah kritis.

Dengan membuka sepatu terlebih dahulu, kami diajak masuk dan berkeliling ruangan urama Keraton, dan tak lupa berfoto bersama di dalamnya.

Bagian teras Keraton Kanoman

Bangunan di dalam kawasan Keraton Kanoman

Bagian dalam Keraton Kanoman















Setelah menjelajah bagian dalam, sang pemandu pun mengajak kami ke bagian samping Keraton dimana terdapat bangunan tua yang merupakan asal usul sebelum terbangunnya Keraton Kanoman ini. Dan ternyata lengkap juga dengan Sumur yang menurut kepercayaan orang-orang sini dapat membuat awet muda dan bla..bla..bla..

Bapak ini pun juga menerangkan, bahwa di tempat yang jika saya lihat lebih mirip sebagai tempat Sholat ini (karena memang ada beberapa sajadah tergelar), sering dijadikan tempat untuk bermunajat atau iktikaf (menginap) pada waktu-waktu tertentu seperti malam 1 Suro, bahkan ada juga yang menggunakannya sebagai tempat mencari ilmu/wangsit. Tapi satu pemikiran yang saya suka dari Bapak ini, beliau melarang keras agar orang-orang yang berkunjung kemari tidak berbuat syirik selain hanya menyembah yang Maha Kuasa.

Inilah beberapa penampakan dari bangunan itu :

Terlihat Bapak Pemandu (Kemeja garis-garis) sedang menjelaskan kepada kami

Sebuah bak kosong yang saya rasa adalah kolam dulunya

Sumur yang dipercaya bisa memjadikan awet muda















K.Pusat Oleh-Oleh Khas Cirebon
Disepanjang jalan menuju Keraton Kanoman, dapat kita jumpai berbagai macam toko yang menjajakkan aneka oleh-oleh khas Cirebon yang pastinya akan sangat berkesan untuk dibawa pulang. Saya pun mampir ke sebuah toko yang bertajuk "Aneka Oleh-Oleh khas Cirebon". Disini barangnya bagus-bagus, dan tempatnya juga bersih. Untuk pembelanjaan di atas Rp 100.000,- bisa dibayar secara Debit. Saran saya, cek dulu benar-benar apakah barang yang kawan-kawan mau beli benar-benar hanya ada disini, karena ternyata seperti Sirup Tjampolay (sirup dengan aneka rasa), bisa ditemui di berbagai macam kota besar, apalagi Jakarta. Hanya saja dengan harga sekitar 2x lipat.


Rincian Pengeluaran (versi saya) :

-Sharecost Trip Cirebon (Include Bus AC PP Jakarta-Cirebon dan selama di Cirebon, Parkir, Toll, Bensin dan tiket masuk semua tempat wisata) : Rp 285.000,-/orang 
-Ngemil Tahu Gejrot 2 porsi @Rp 5.000,- : Rp 10.000,-
-Empal Gentong Daging + Nasi + Teh di Botol : Rp 25.000,-
-Makan malam di Pom bensin Km 166 : Rp 20.000,- 
-------------------------------------------------------------------------------------------- +
Total : Rp 340.000,-*

*Biaya tersebut di atas belum termasuk uang transport PP dari rumah masing-masing ke Mipo dan biaya oleh-oleh..


Sekian dulu cerita dari saya, semoga informasi yang ada dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian..

Sampai jumpa di trip berikutnya !!
Cheers,
RPR -  Sang Petualang
(Silahkan difollow IG saya jika berkenan : rezkirusian)